Cerpen Di sanalah Semuanya Berakhir


Ku susuri lorong belakang sekolahku, seusai jam kegiatan tambahan. Gelap menyelimutiku sore ini, membuat jantungku berdetak kencang. Bulu kudukku berdiri, mengingat betapa seramnya kisah masa lampau dari bangunan tua ini. Ya! Sekolahku memang dulunya milik belanda. Pintunya yang tinggi besar dengan arsitektur bangunan yang berlorong-lorong benar-benar berpadu, membuat nyaliku semakin ciut.


Aku sendiri di sini! Teman-temanku telah bergegas ke peraduan, sejak mentari masih menginjakkan kakinya tepat di atas bumi sekolahku. Hembusan angin yang masuk melalui celah-celah lorong di sini, membuat langkah kakiku semakin berat. Aku terus berjalan dengan sikap waspada, seakan ada sepasang mata yang sedang memperhatikanku. Sesekali ku arahkan pandanganku ke seluruh penjuru, namun hasilnya tak ku dapati apa-apa.


Psst!


Langkahku terhenti, sesuatu menabrak pikiranku. Darah dalam tubuhku, nyaris tak lagi mengalir. Air mukaku menggambarkan, betapa rasa itu mengusik otakku, Ya! Rasa takut itu semakin menghantuiku ketika kudengar sebuah suara memanggilku dalam kesendirian.
“Rea.. Rea?”


Hatiku menjerit. Suara siapa itu? Bukankah aku hanya seorang diri di sini? Singkat saja, ku putuskan segera mempercepat langkahku meninggalkan bangunan tua penuh misteri ini. Mulutku tak henti-hentinya berkomat-kamit membaca doa, mengiringi langkah kaku kakiku yang kian lama kian cepat. Napasku tertahan. Hatiku berdebar-debar. Keringat dingin bercucuran di tiap sisi tubuhku. Dari tempatku berdiri, ku dapati sesosok bayangan berambut panjang sedang berdiri di ruas lorong ini, di dekat jendela. Dari struktur tubuhnya, dapat ku pastikan bahwa ia seorang perempuan. Ia tinggi dan kurus. Sempat pandanganku jatuh pada gaun yang dipakainya, indah, anggun, kedua kaki perempuan itu tertutupi olehnya, ia seperti pejabat londo.


Mungkinkah ia yang memanggilku tadi? Ah, tapi siapa gerangan dia ini? Bukankah, aku hanya sendiri? Mataku telah berkelana, dan aku tidak menemukan siapapun, tadi. Ada rasa penasaran yang membersit dalam hati kecilku. Ah! Tapi, bisa apa aku? Aku pun perempuan! Nyaliku tak sebesar itu untuk memastikan semuanya! Pikiran-pikiran buruk kembali merasuki otakku. Bagaimana, kalau dia ini.


Akhirnya tiga per empat dari lorong ini telah ku susuri. Sejenak, ku hentikan langkahku untuk mengambil napas. Aku benar-benar terengah-engah. Ku sandarkan punggungku yang mulai terbasahi keringat dingin ke dinding besar di samping ruang karawitan. Bayang perempuan tadi masih terngiang-ngiang di kepalaku.


Ya Tuhan, siapa dia ini? Sepertinya baru kali pertama ini aku melihatnya. Apa dia penghuni bangunan tua ini? Aku pun tak melihat kakinya, tadi. Ah, iya! Kakinya! Di mana kakinya?
Aku teringat akan beragam cerita hantu yang biasa ku dengar. Penulisnya selalu mengatakan, hantu-hantu tersebut benar-benar tak bisa menyentuh tanah, mereka terbang. Kakinya seringkali tak terlihat.


Di tengah rasa penasaran yang membayangiku, tiba-tiba.. Ngiek!!
“Masya Allah!”


Aku tersentak. Mataku tertuju pada pintu di sisi dinding yang menyanggaku kala ini. Pintu ruang karawitan! Bagaimana bisa? Pintu besar yang telah lapuk dimakan waktu ini tiba-tiba terbuka. Jeritannya seakan semakin mengiris-iris nyali kecilku. Sontak, ku lemparkan pandanganku padanya. Ah! Tak ada siapapun di sana!


Belum hilang rasa takutku, sebuah bau harum berlari ke arahku, menyusul denyitan si pintu usang. Dingin! begitulah yang ku rasakan saat ini. Sendiri, di tengah lorong sekolah tua yang menyimpan jutaan cerita. Yang mungkin hari ini akan ku temukan jawabannya. Dari dalam sini, ku dengar hujan menurunkan amarahnya. Petir demi petir menggelegar bersahut-sahutan. Suara-suara tersebut berpadu dengan suara gamelan misterius yang seketika datang dari dalam ruang karawitan. Mereka berpadu, membentuk satu kesatuan instrumen inti yang setiap tekanannya menghasilkan irama yang begitu sempurna.


Mereka berhasil membuat seluruh tubuhku bergetar. Bahkan untuk berlari pun, rasanya tak ada sedikit pun energi yang masih tersisa, seluruh tubuhku layaknya digembok, aku tak mampu lagi. Diam. Hanya itu kalimat terakhir yang ku rasakan adanya. Aku tak bisa mengingat lagi kejadian setelahnya. Kepalaku sakit.


Saat kesadaranku kembali, hanya hangat yang ku rasa. Ya! Dingin yang menyelimuti sebelumnya, kini beralih menjadi rasa hangat yang begitu berarti, ini tak kan ku lupakan hingga nanti. Ku lihat tempat tidurku kini menjadi danau. Baunya yang pesing, sungguh menyiksa hidung. Memalukan, ternyata semua ceira panjang ini hanyalah mimpi yang berakhir pada sebuah danau air panas. Aku ngompol!


Cerpen Karangan: Mutia Fitri Akmalia

No comments:

Post a Comment

Informations From: Omnipoten

Featured post

Melihat Melalui Mata yang Berbeda

Melihat Melalui Mata yang Berbeda Aku melihat melalui matamu. Dan ketika saya melakukannya, dunia semuanya biru, ungu dan hijau. Warnanya s...